Letaknya yang berada di utara Kabupaten Malang membuat Selorejo mudah dijangkau dari berbagai arah. Dari pusat Kota Malang, perjalanan menuju desa ini han ya memakan waktu sekitar 30 hingga 45 menit, tergantung kepada tan lalu lintas dan jalur yang diambil. Jalan berkelok yang membelah perbukitan menjadi pemandangan lazim sepanjang rute menuju Selorejo. Dengan kendaraan pribadi, akses menuju Selorejo relatif lancar. Moda transportasi umum pun tersedia, meski frekuensinya tak sesering jalur kota. Bentang alam Selorejo mena warkan lanskap khas da taran tinggi dengan suasana yang masih lekat dengan kehidupan agraris. Dari kejauhan, Gunung Kawi tampak gagah berjaga diam, menyempurnakan panorama alam yang biasa diselimuti kabut tipis. Desa ini tak hanya sekadar persinggahan geografis, Selorejo menyimpan denyut kehidupan warga Malang yang bergantung pada ladang, kebun jeruk, dan peternakan kecil. Dalam kerangka besar wilayah Malang Raya, Selorejo memang bukan titik pusat keramaian. Tapi justru dari pinggiran inilah, lanskap asli Malang menunjukkan wajahn ya yang paling murni: perbukitan sunyi, jalan desa yang membelah sawah, dan angin yang berembus tenang dari utara.
Dengan tanah yang subur dan iklim yang bersahabat, desa ini seperti ditakdirkan sebagai surga bertani. Jeruk menjadi primadona. Hampir setiap petak lahan besar maupun sempit ditanami pohon jeruk yang buahnya manis legit yang tumbuh subur di antara kabut dan embusan angin pegunungan. Varietas jeruk Baby Malang hingga Keprok Batu tumbuh subur di sini. Namun tak hanya jeruk yang hidup dari tanah Selorejo. Beberapa lahan dialihfungsikan untuk sayur-mayur, demi untuk melengkapi kebutuhan dapur warga sekaligus kebutuhan pasar lokal. Pertanian bukan sekadar kegiatan ekonomi, melainkan identitas usaha kolektif warga desa ini. Di tengah geliat pertanian, sektor jasa mulai menampakkan peran. Warga setempat merintis jalur pariwisata berbasis potensi lokal. Wisata petik buah misalnya, hadir menjadi magnet bagi wisatawan, memetik jeruk langsung dari pohon, dan experience dalam membawa pulang sebuah kesan. Tak jauh dari ladang, kawasan wisata Bedengan menawarkan pengalaman lain: kemah di bawah pinus, suara gemericik air sungai yang mengalir, serta udara pegunungan yang bersih dari bising kota. Inisiatif ini bukan proyek besar pemerintah, melainkan buah gotong royong dan ketekunan warga Selorejo dalam melihat peluang. Dari ladang ke tenda, dari kebun ke kantong warga, Selorejo perlahan membangun dirinya sebagai desa mandiri berbasis alam dan tradisi. Berdikari, turut serta membangun negeri dari Lereng Kawi.
Di punggung Desa Selorejo, berdiri Dusun Gumuk, sebuah kantung pemukiman yang terletak sedikit lebih tinggi dari dusun lain. Ketinggiannya bukan hanya soal geografi, tapi juga tentang bagaimana alam dan tradisi berpaut erat dalam keseharian warga Gumuk. Terpencil dan bersisian langsung dengan rimbunnya hutan, Gumuk tetap terasa alami, nyaris tak tersentuh modernitas. Bagi warga Gumuk, hutan bukan sekadar latar belakang lanskap. Ia adalah ruang hidup dan sumber kehidupan. Mereka masuk ke ladang saban hari, mencari rumput untuk ternak, menengok semaian tumpang sari, atau sekadar menyapa pohon yang ditanam dengan penuh harapan. Semuanya dilakukan dengan kesadaran menjaga keseimbangan vegetasi, bukan sekadar tahu mengambil hasil dan manfaatnya. Mayoritas penduduk adalah petani tradisional yang menggantungkan hidup pada lereng Gunung Kawi. Tapi yang mereka tuai bukan hanya hasil panen saja. Gunung dan hutan juga dianggap sebagai ruang sakral yang menyimpan kekuatan spiritual. Dari sanalah mereka juga mengambil air, arah, dan doa. Keyakinan itu membentuk sistem pertanian dan struktur sosial yang berbasis gotong royong dan kelestarian. Tak heran jika banyak ritual adat digelar sepanjang tahun sebagai bentuk syukur, permohonan perlindungan, sekaligus ikatan batin antara manusia dan alam. Di Gumuk, tradisi bukan masa lalu. Ia adalah napas hari ini.
Di Selorejo, kesadaran menjaga alam bukan sekadar wacana. Ia menjelma tindakan nyata: menahan laju erosi, merawat aliran sungai, dan mencegah bencana seperti banjir dan longsor yang kerap lahir dari deforestasi lahan sembrono. Warga desa ini, dengan dukungan komunitas dan semangat kolektif, berhasil menjaga kualitas lingkungan debit sungai tetap terjaga, airnya cukup jernih meski musim kemarau menggigit. Pelestarian hutan di Selorejo tak lahir dari proyek sesaat, melainkan dari laku hidup masyarakat lokal yang menyatu dengan alam. Di balik itu, ada perjuangan senyap yang berlangsung di arena sosial-budaya demi mempertahankan hutan dan sungai sebagai ruang hidup, bukan hanya sekadar ruang eksploitasi.




