Lonjakan minat wisatawan terhadap budaya lokal tidak selalu disambut dengan kesiapan yang memadai di tingkat komunitas. Di banyak desa adat, pariwisata budaya yang berkembang cepat justru menempatkan masyarakat adat pada posisi rentan, baik secara ekonomi, sosial, maupun kultural. Meski pariwisata menjanjikan peluang ekonomi baru, kenyataannya sebagian besar komunitas adat belum memiliki kapasitas kelembagaan, keterampilan manajemen, atau akses kebijakan yang memungkinkan mereka memimpin proses tersebut.
Di Desa Adat Sade, Lombok Tengah, misalnya, data riset dari Pusat Studi Pariwisata Universitas Brawijaya (2023) menunjukkan bahwa 68% penduduk lokal terlibat langsung sebagai pelaku wisata, seperti penjual cenderamata dan pemandu lokal. Namun, hanya 12% dari mereka yang pernah mengikuti pelatihan manajemen pariwisata atau pelatihan pelayanan wisatawan. Lebih lanjut, desa ini belum memiliki badan usaha milik adat yang mengelola pemasukan secara kolektif. Sebagian besar transaksi bersifat individual, yang berisiko menciptakan kesenjangan pendapatan antarwarga.
Contoh lain pada komunitas Baduy di Banten mengalami dilema berbeda. Peraturan Desa Saba Budaya tahun 2007 dianggap membatasi arus pariwisata secara ketat. Namun, menurut Laporan Observasi Budaya LIPI yang rilis tahun 2022, sekitar 74% wisatawan yang masuk ke wilayah Baduy Luar dibawa oleh agen perjalanan dari luar wilayah. Akibatnya, pemasukan utama tetap terkonsentrasi di pihak ketiga, bukan komunitas adat sendiri. Hanya sekitar 25% dari total nilai transaksi pariwisata yang masuk ke warga lokal. Di sisi budaya, muncul kekhawatiran akan degradasi nilai, seperti ritual adat yang mulai dijadikan tontonan tanpa pemaknaan.
Pariwisata budaya memang membawa dampak positif. Di Toraja, misalnya, revitalisasi rumah adat Tongkonan dan peningkatan kunjungan ke upacara Rambu Solo’ mendorong generasi muda kembali tertarik mempelajari budaya leluhur. Pendapatan dari sektor pariwisata bahkan tercatat menyumbang 43% dari total pendapatan desa (BPS Tana Toraja tahun 2022). Hal serupa juga terjadi di Wae Rebo, Manggarai, NTT, di mana masyarakat berhasil membentuk koperasi wisata yang dikelola bersama dan mengatur kunjungan maksimal 30 orang per hari. Ini berhasil menjaga ekosistem dan menjaga otoritas adat.
Namun di banyak wilayah, terutama di Jawa dan Bali, eksploitasi budaya justru mengarah pada komodifikasi yang berlebihan. Tari-tarian sakral yang dulunya bersifat ritual kini dipentaskan harian untuk wisatawan tanpa keterlibatan tokoh adat. Bahkan, menurut studi ICCI-UNESCO (2021), sebanyak 60% warisan budaya takbenda yang ditampilkan untuk pariwisata di kawasan urban mengalami pengaburan makna atau pelucutan unsur-unsur spiritualnya.
Secara umum, tantangan utama masyarakat adat menghadapi pariwisata budaya meliputi tiga hal: 1) rendahnya literasi manajemen wisata; 2) belum adanya sistem distribusi hasil ekonomi yang adil; 3) serta lemahnya regulasi yang melindungi hak masyarakat adat atas warisan budaya mereka. Tanpa intervensi kebijakan afirmatif dan pendampingan berkelanjutan, potensi ketimpangan dan erosi budaya semakin nyata.




