Huru-hara Indonesia 1965 tak selama menyisakan kisah soal pembantaian nan berdarah-darah. Di antara situasi ketegangan politik dan sosial yang merambah masyarakat, ada kisah-kisah heroik akar rumput yang tidak banyak diceritakan. Kisah saling membantu demi terselamatkan dari amukan negara karena afiliasi “kiri” nyatanya terjadi. Anak bangsa yang peduli terhadap kehidupan sesamanya perlu dikabarkan luas sebagai optimisme bahwa masih ada nurani dalam diri masing-masing sesamanya. Ini adalah sepotong kisah soal rakyat bantu rakyat dalam masa kekerasan 1965 di Madiun.

Sumber: https://timesindonesia.co.id/peristiwa-daerah/299812/4-fakta-tentang-pemberontakan-pki-madiun
Di banyak daerah, termasuk di Madiun, kekerasan ini menyasar individu-individu yang diasosiasikan dengan gerakan kiri atau komunis., baik karena afiliasi organisasi, status pekerjaan, maupun sekadar dugaan. Di lapangan, aparat keamanan dan kelompok sipil melakukan penangkapan massal, penghilangan paksa, penyiksaan, dan eksekusi terhadap orang-orang yang dituduh sebagai simpatisan komunis. Namun nyatanya operasi ini menyasar liar kepada semua orang yang tertuduh sekalipun tidak terbukti. Ekskalasi makin hari makin tak terkendali.
“banyak truk lalu-lalang bawa orang” tutur salah seorang informan. Hal ini merujuk pada deru truk yang membawa terduga komunis untuk direlokasi entah dieksekusi. Namun kisah ini berlanjut pada langkah penyelamatan. “bapak saya melindungi anak kosnya yang mau disweeaping, bapaj tau dia orang baik”, lanjutnya. “ada kisah tentara yang melindungi orang-orang agar selamat waktu ada operasi pemberantasan pengaruh kiri di Madiun”, ujar informan lainnya.
Masyarakat pada masa itu menunjukkan reaksi yang kompleks. Ada yang terlibat dalam penggrebekan atau mengamankan wilayahnya karena merasa terancam oleh propaganda bahwa komunis kejam dan anti-agama. Namun, di sisi lain, ada pula warga yang melakukan perlindungan diam-diam. Dalam situasi penuh ketakutan, beberapa keluarga menyembunyikan kerabat atau tetangga yang dicari-cari, meski mereka tahu risikonya tinggi. Solidaritas semacam ini terjadi secara personal dan tidak tercatat dalam narasi resmi negara. Propaganda negara Orde Baru memperkuat stigma terhadap kelompok kiri. Sejak 1966, negara membangun narasi tunggal bahwa pembersihan ideologi adalah bentuk penyelamatan bangsa.
Kini, lebih dari lima dekade kemudian, upaya rekonsiliasi masih terhambat. Tidak ada pengakuan resmi dari negara atas kekerasan massal ini, dan korban beserta keluarganya terus menanggung beban sosial berupa stigma dan diskriminasi. Sayangnya, kisah-kisah seperti ini jarang dibicarakan. Narasi besar tentang 1965 selama ini lebih sering dibingkai dalam bayangan gelap konflik dan kekerasan. Padahal, ada juga sisi terang yang layak diangkat. Kisah tentang keberanian tanpa pamrih, tentang mereka yang tak membiarkan rasa takut mengalahkan rasa welas asih.




