Pulau Onrust, salah satu dari empat pulau cagar budaya di Kepulauan Seribu, menyimpan jejak bersayap akar bangsa—dari pangkalan VOC hingga lokasi karantina haji dan penjara kolonial. Pada 2015, Gubernur DKI menerbitkan SK Nomor 2209 Tahun 2015 yang menetapkan Pulau Onrust, Cipir, Kelor, dan Bidadari sebagai kawasan cagar budaya. Sebelumnya, pulau ini telah menjadi Taman Arkeologi sejak 2002, sebagai bentuk perlindungan awal terhadap artefak dan struktur bersejarah yang masih terjaga. Secara nasional, kegiatan konservasi ditopang oleh Undang‑Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Semua regulasi ini membentuk kerangka hukum yang ketat untuk melindungi nilai-nilai sejarah dari degradasi fisik dan perubahan fungsi yang merusak. Di atas kertas, aturan tersebut sudah cukup menjanjikan perlindungan. Namun dalam praktiknya, pelestarian ini menghadapi tantangan karena bersinggungan langsung dengan kepentingan pariwisata.
Pulau Onrust, yang terletak di gugusan Kepulauan Seribu, adalah sebuah tapak sejarah yang menyimpan jejak kolonialisme, perdagangan, hingga narasi karantina haji dan pembuangan politik. Dalam lintasan sejarah Indonesia, pulau kecil ini lebih dari sekadar destinasi wisata; ia adalah situs peradaban yang menyimpan luka dan pengetahuan. Namun hari ini, Onrust menghadapi dilema yang kian mengemuka: antara pelestarian sebagai kawasan cagar budaya, dan tekanan komersialisasi lewat industri pariwisata.
Sebagai situs yang terbuka untuk publik, Onrust memiliki daya tarik visual dan historis yang kuat. Dalam beberapa tahun terakhir, kunjungan wisatawan terus meningkat, terutama saat musim liburan. Potensi ini tentu saja tidak bisa diabaikan. Banyak pihak melihat peluang untuk menjadikan Onrust sebagai destinasi wisata sejarah yang edukatif, bahkan sebagai laboratorium sejarah hidup bagi pelajar dan peneliti. Namun di balik itu, muncul persoalan serius mengenai tata kelola. Tekanan untuk meningkatkan jumlah wisatawan, menyediakan fasilitas pendukung seperti penginapan, toilet, hingga spot swafoto, kadang justru bertentangan dengan semangat konservasi.
Hal yang sering luput dibahas adalah bagaimana konservasi arkeologi memerlukan kesabaran dan ketelitian, sedangkan logika pariwisata menuntut kecepatan dan daya tarik instan. Dua logika ini sulit berjalan beriringan. Pada praktiknya, situs-situs penting di Onrust kerap mengalami gangguan fisik akibat intervensi manusia. Minimnya regulasi tentang daya tampung wisatawan, kurangnya pengawasan lapangan, hingga fragmentasi kelembagaan antara pengelola kebudayaan dan pariwisata menambah pelik persoalan.
Pilihan antara konservasi dan pariwisata sebetulnya bukan pilihan biner. Yang dibutuhkan adalah penataan kembali paradigma pengelolaan situs budaya. Onrust tidak harus menjadi museum terbuka yang steril dari kehidupan, tapi juga tak boleh dijadikan wahana hiburan yang mengabaikan nilai-nilai sejarahnya. Perlu ada keseimbangan antara menjaga keaslian situs dan menghadirkan pengalaman sejarah yang hidup bagi masyarakat.
Ke depan, pelestarian Onrust harus melibatkan lebih banyak pihak dengan perspektif lintas disiplin: arkeolog, sejarawan, perencana wilayah, antropolog, hingga masyarakat adat dan komunitas lokal. Pemerintah perlu hadir tidak hanya sebagai pengatur, tapi sebagai fasilitator ruang dialog antara konservasi dan kepentingan ekonomi. Jika tidak, Pulau Onrust bisa jadi akan kehilangan nilainya, tidak karena waktu yang menggerus, tapi karena kita gagal melihatnya sebagai warisan yang harus dijaga, bukan dieksploitasi.




